Sunday, January 20, 2008

Sejarah Batik Gagrak Surakarta

Motif/corak bathik gagrak Surakarta tercipta karena ada maksud dan pesan yang filosofis serta makna ajaran atau tuntunan dan juga menjadi ciri dari golongan strata masyarakat yang menggunakannya.

Corak Bathik gagrak Surakarta pada umumnya berbeda dengan corak daerah lain, baik dari segi gambar, ornamen maupun warnanya yang relatif gelap. Bathik gagrak Surakarta berkaitan dengan Makna, Motif dan Masa Berkembangnya. Setiap motif & warna bathik Surakarta mengandung pesan filisofi, ajaran dan kedudukan (strata sosial) bagi penggunanya.

Batik gagrak sangat erat kaitannya dengan perjanjian Giyanti yang diadakan didesa Giyanti pada tahun 1755 masehi. Dalam perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua.
  • Sebagian menjadi wilayah Mataram Surakarta Hadiningrat dibawah kepemimpinan Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Pakoe Boewono Kaping III (PB.III).
  • Sebagian lagi menjadi wilayah Mataram Ngayogjakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Ngarsadalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Boewono Senopati Ing Ngalaga Kalifatullah Abdurrahman Sayidin Panatagama (KP. Mangkubumi yang juga paman dari PB III).
Dari perpecahan wilayah tersebut, kemudian berkelanjutan pada pembagiaan harta kerajaan yang berupa pusaka, gamelan, kereta tunggangan dan tandu/joli/kremun dibagi menjadi 2 bagian namun busana keraton Mataram seutuhnya diboyong oleh KP. Mangkubumi ke Jogyakarta. Mengingat sebelum perpecahan dan PB.III belum menjadi Raja, PB. II (ayah dari PB.III) pernah mewasiatkan kepada PB. III. “mbesok manawa pamanmu Mangkubumi hangersakake ageman, paringno” artinya 'apabila kelak pamanmu Mangkubumi menghendaki busana, berikan saja'.

Sejak perpecahan itulah keraton Mataram Surakarta tidak mempunyai corak busana khas keraton, hingga kemudian Pakoe Boewono III (penguasa saat itu) memerintahkan pada jajarannya untuk membuat corak busana. Corak bathik gagrak Surakarta berkembang sangat pesat, namun justru pada akhirnya berdampak; menurunnya kandungan nilai budaya bathik serta tatanan dalam penggunaan kain bathik menjadi kabur, yang antara lain : kain bathik yang di peruntukkan Bangsawan dan Kawula menjadi tidak jelas.

Oleh karena itu kemudian Pakoe Boewono III mengeluarkan suatu kebijakan tentang tata tertib penggunaan kain bathik, guna menyadarkan masyarakatnya akan kandungan nilai budaya corak bathik: “Ana dene kang arupa jejarit kang kalebu laranganningsun, bathik sawat, bathik parang lan bathik cemukiran kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan tumpal, apa dene bathik cemukiran kang calacap lung – lungan, kang sun wenangake anganggoa pepatihingsun lan sentananingsun dene kawulaningsun padha wedia”.


Yang artinya: “Ada beberapa jenis kain bathik yang menjadi larangan saya, bathik lar, bathik parang dan bathik cemukiran yang berujung seperti paruh burung podang, bangun tulak lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga bathik cemukiran yang berbentuk ujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), yang saya ijinkan memakai adalah Patih dan para Kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak di perkenankan”.

Dari kebijakan inilah Bathik gagrak Surakarta mulai jadi tatanan berbusana di dalam kehidupan masyarakat jawa, (khususnya dibumi Mataram Surakarta Hadiningrat atau yang sekarang dikenal dengan sebutan kota Surakarta/Solo).

No comments: